BADAN HUKUM CU MOTOTABIAN: Nomor : 07/BH/XXV.13/DPPPKM-KK/XII/2010, tanggal 16 Desember 2010

Selasa, 17 Mei 2011

MAMPUKAH CREDIT UNION BERTAHAN 100 TAHUN LAGI ?

MAMPUKAH CREDIT UNION
BERTAHAN 100 TAHUN LAGI ?
Oleh : Paul Soetopo
(Cuplikan Materi Seminar Nasional BKCU-K, 6 Mei 2011 di Jakarta)

Pendapat saya berikut saya tarik dari pengalaman saya yang lebih dari 30 tahun berada di Bank Sentral sebagai Regulator bank-bank dan LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank) serta keterlibatan saya selama beberapa tahun di Kantor Pusat International Monetary Fund (IMF) di Washington DC, Amerika Serikat. Beberapa tahun terakhir ini saya dilibatkan oleh Bapak A.R. Mecer, Ketua BKCU-K, untuk mendalami – secara teoritis dan praktek – Credit Union.

Sehubungan dengan itu perkenankanlah saya memberikan beberapa catatan sesuai pemahaman saya selama ini sebagai berikut :
1.    Definisi CU. Diantara Pemerhati CU tentu saja pengertian atau definisi CU kurang lebih sama. Tetapi bagi banyak orang pengertiannya menjadi kurang pas. Ada yang mengatakan CU tidak beda dengan koperasi pada umumnya atau menyamakan dengan koperasi simpan pinjam (KSP). Bahkan sebenarnya dengan beberapa “Credit Union” lainnya pun terdapat perbedaan. Lebih keliru lagi kalau mengatakan bahwa CU adalah lembaga keuangan atau perusahaan. Yang benar adalah pendapat yang mengartikan CU sebagai ‘kumpulan orang’ lebih dari sekedar ‘kumpulan uang’. Kita tidak bisa melihat ‘keberhasilan’ CU dilihat dari besarnya dana yang terkumpul atau beberapa keuntungan diperoleh tetapi sampai seberapa jauh prinsip-prinsip dan nilai-nilai CU berpengaruh pada anggota dan masyarakat sekitarnya. Sebagai salah satu indicator tentu saja dapat diambil seperti rasio anggota terhadap jumlah penduduk untuk melihat ‘penetrasi’ nilai-nilai CU dalam masyarakat. Saya turut bangga bahwa BKCU-K telah mencapai ‘penetrasi’ sekitar 10% jauh di atas negara-negara Asian dan Asean !

2.    Ekonomi Kerakyatan (EK). Rekan saya Prof. Dr. Mubyarto memberikan definisi Ekonomi Kerakyatan adalah “system ekonomi nasional yang berasas kekeluargaan, kedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat”. Definisi itu merupakan penjabaran dari pandangan our founding fathers (pendiri Republik Indonesia) seperti tercantum dalam UUD 1945 dan pembukaannya. Elemen-elemen EK seperti yang disebutkan oleh Mubyarto tersebut ternyata tidak berbeda dengan elemen-elemen dari CU yang ditemukan oleh Freiderich Raiffeisen, yang kemudian diambil alih oleh gerakan WOCCU-ACCU “CU adalah kumpulan orang yang saling percaya, bersepakat menabung untuk dipinjamkan kepada sesama anggota dengan asas swadaya, solidaritas dan pendidikan untuk mencapai kesejahteraan bersama”. Bahkan Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB pernah mengatakan bahwa “Credit Union founded on the principles of private initiative, entrepreneurship, and self employment, underpinned by the values of democracy, equality and solidarity. CU can help pave the way to a more just and inclusive order” CU telah berhasil mengembangkan konsep modal social (social capital) dengan baik yang merupakan faktor penting dalam ekonomi kerakyatan.

3.    CU dalam praktek. Terus terang saya – sebagai orang yang telah berkutat di bidang perbankan berpuluh tahun – terkejut mengenai ‘kecanggihan’ CU dalam mensejahterakan orang miskin. CU mempunyai kelebihan yang tidak dilihat orang lain. Saya seperti melihat ‘space ship’ atau ‘alien’ saat melakukan penelitian CU yang ternyata mempunyai kelebihan yang mencengangkan. Selain prinsip-prinsip dan nilai-nilai utama CU yang dapat digali dari budaya local, CU sarat dengan ‘perangkat yang berkualitas’ dalam bentuk aturan-aturan baku, sistem yang lengkap, kebiasaan (habit) atau ‘best practices’ yang berisi nilai pengelolaan yang bagus, dan didukung dengan berbagai buku pegangan dan petunjuk (manual and tools). Pendidikan juga merupakan core function, bahkan CU mengklaim bahwa ‘CU dimulai dengan pendidikan, dikembangkan oleh pendidikan, dan diawasi dengan pendidikan’. CU yang tidak mempunyai fasilitas pendidikan BELUM dapat mengklaim dirinya CU. Berbagai analisa pengukur performance dan indikator resiko yang bersifat kwantitatif seperti PEARLS dan ACCESS yang diterapkan dengan disiplin, sekaligus digunakan untuk audit.

4.    People helping people. Dari anggota kepada anggota. Dari rakyat kembali ke rakyat. Saya acungi jempol kepada para pemikir CU di seluruh dunia yang penuh imaginasi dalam menyusun perangkat sistem yang terstruktur secara rapi dari bawah ke atas (bottom up) sekaligus memperhatikan hubungan kasualitas (cause and effect) dari tahap-tahap yang dipakai. Mulai dari level terbawah yaitu ‘rakyat’ (people) terus ke ‘kegiatan’ (operation), kemudian ke ‘anggota’ (members), dan akhirnya ke paling atas yaitu ‘keuangan’ (financial). Dinamika ini terus berjalan sehingga menimbulkan hubungan sebab-akibat ‘kausalitas’ (causes and effect) dari ‘financial-members-operation terus kembali ke people’. Setiap tahap ternyata mempunyai sub-tahap yang telah tertata rapi.

5.    Network yang bagus. Hubungan organisatoris dan fungsional antar CU dengan BKCU-K sangat solid terutama dalam Pendidikan dan asuransi Jalinan dan kematian. Transfer pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) terjadi dengan lancer. On  the job training telah disediakan oleh BKCU-K dengan penuh keramahan baik jangka pendek maupun jangka yang lebih panjang. Keuletan dan disiplin staf di CU anggota BKCU-K di Kalimantan merupakan ‘virus’ yang sehat bagi CU lainnya. Network  tersebut berlanjut ke jajaran Inkopdit (Cucoindo), terus ke ACCU Asia di Bangkok yang menyediakan fasilitas pendidikan dan penilaian (grading) CU berdasarkan ACCESS Branding kemudian ke WOCCU (CU dunia). CU memperoleh banyak ‘alat’ seperti PEARL dan kebiasaan ‘jitu’ yang terdapat pada ‘best practices’. Saya bahagia melihat deretan ‘tools’ tersebut yang benar-benar dipergunakan dalam pengelolaan CU. SELAMAT !

6.    Keberhasilan dan kegagalan. Ukuran keberhasilan CU tidak bisa diukur dengan jumlah dana yang terkumpul atau disalurkan (meskipun BKCU-K mempunyai dana sebesar lebih 4 triliun rupiah atau lebih separoh dana CU seluruh Indonesia). Ukuran yang sebenarnya adalah sampai sejauh mana prinsip-prinsip dan nilai-nilai CU yang menempatkan manusia sebagai subyek dengan segala aspirasinya (demokratis), yang mempunyai solidaritas dengan cirri ‘equality dan equity’ serta otonom/swadaya (self help) menjadi budaya dalam socio-economy masyarakat. Bukan ketergantungan dari ‘luar’ tetapi ‘people helping people’ gotong royong yang saling berbagi. Indikasi kwantitatif salah satunya adalah tingkat ‘penetrasi’ CU dalam masyarakat berupa ratio jumlah anggota CU terhadap jumlah penduduk. Seluruh Indonesia masing kurang dari 1%, negara-negara Asia di bawah 10%. Kita bersyukur bahwa BKCU-K menempati urutan tertinggi di Asia atau Asean (pernah mencapai 11%). Itu berarti BKCU-K telah berhasil membentuk ‘modal sosial’ yang cukup tinggi.

7.    Human risk mengkhawatirkan. Keberhasilan yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan SDM yang memadai akan membahayakan kelangsungan CU. Harus dilakukan tindakan segera. Pendidikan CUDCC dan CUCCC harus digalakkan. Demikian juga pendidikan untuk anggota harus dilakukan terus menerus, berkelanjutan dan terarah. Disiplin harus ditingkatkan, rekrutmen manager dan staf yang berdasarkan risk-based harus dilakukan. Karakter moral dan etika yang baik akan melanggengkan kestabilan CU. KODE ETIK harus disusun secepat mungkin. Tidak perlu sempurna (karena itu milik Tuhan!) Bisa step by step tetapi terarah, teratur, dan terukur. Dana yang semakin besar tanpa dibarengi kepatuhan pada aturan dan kode etik akan sangat berbahaya. Kode etik dan kepatuhan akan bermuara pada ‘rewards and punishment’ yang harus dilakukan pula secara patuh. Kendala yang terbesar adalah ‘balas jasa profesi’ yang tidak kompetitif mengakibatkan tingkat profesionalitas yang juga rendah. Apakah Inkopdit atau BKCU-K telah siap dengan ‘Sekolah CU’??

8.    Legalitas CU dan RUU Koperasi. Pernah CU hidup tanpa legalitas, tanpa landasan hukum. Kemudian bekerja dengan bonceng legalitas ‘orang lain’ yaitu ‘KSP’. Akankah CU meneruskan hidup tanpa dasar hukum sendiri? Saat ini CU dalam persimpangan jalan : kembali ke keadaan semula, ‘dompleng’ atau diakui sebagai lembaga ‘khusus’? Agaknya yang paling optimistis adalah ‘disebut’ tetapi jelas bukan khusus tersendiri. Seperti anak haram yang tidak jelas ayah-ibunya tetapi diakui oleh Pengadilan. Tetapi jelas punya hak hidup karena ‘aborsi’ dilarang. Ada kemungkinan – dan itu besar probabilitasnya – untuk hidup ‘berdampingan dengan damai’ atau ‘hilang kepribadiannya’. Yang terakhir ini, yang paling jelek, adalah ‘penurunan derajat menjadi KSP’. Kalau yang terakhir terjadi maka CU akan kehilangan jati dirinya dari ‘kumpulan orang’ menjadi ‘kumpulan uang’. Bagi saya ini bukan ‘kesempatan’ tetapi PILIHAN. Kita harus memilih yang terbaik. Itu berarti mengerahkan semua ‘funds and forces’ untuk memberikan landasan hukum yang secukupnya bagi CU untuk mengaktualisasikan ‘ekonomi kerakyatan’!! Kalau tidak dapat ‘first best’ ya ‘second best’.

9.    4 Tantangan masa depan. Kedepan situasi tidak lebih mudah dari sekarang. Kita harus mulai ‘sedia payung sebelum hujan’. Bukan lagi hujan gerimis, tetapi hujan deras yang disertai badai dan banjir. Juga gempa bumi keuangan. CU telah bisa melewati krisis moneter dan dampak negatif dari globalisasi. Testing akan semakin ketat.
-       Regulasi akan semakin keras dan persaingan akan semakin ketat.
-       Pergeseran segmentasi dan perubahan dasar.
-       Hubungan dengan anggota baru dan lama akan semakin ‘demanding’. Kemajuan teknologi akan semakin berperan.
-       Reputasi CU dan ‘Relationship’ rules akan semakin meningkat.

10.  5 kunci pokok. Pilihan kedepan harus dicermati lebih komprehensip terutama terhadap 5 kunci pokok yaitu aliansi, regulasi, identitas, sinergi, e-commerce (ARISE).
-       “Aliansi”  atau network merupakan tuntutan. ‘Bersatu kita bisa’ bukanlah satu ‘kesempatan’ tetapi ‘pilihan’, sesuatu yang harus kita perjuangkan. Ada ‘panggilan’.
-       “Regulasi” adalah kebutuhan vital, bukan lagi ‘main-main’. Saat ini kita sedang berada dalam persimpangan jalan, kita tidak ingin dibawa orang lain kearah yang kita tidak suka. Kita ingin menuju ‘kesejahteraan bersama’ bukan sekedar transaksional pinjam-meminjam.
-       “Identitas” harus tetap tegak sebagai ‘kumpulan orang’ bukan ‘kumpulan uang’. Manusia ‘miskin’ tidak mau dikontrol oleh uang tetapi harus ‘mengontrol’ uang. Manusia Indonesia – terutama yang miskin – harus bisa mengendalikan masa depannya sendiri, harus bisa mengendalikan keuangan keluarga sendiri. Ada otonomi, ada swadaya.
-       “Sinersi” merupakan kata kunci kedepan. Segmentasi pasar berubah, target berubah. Industri jasa keuangan tidak perlu ‘crash’ yang memberikan bencana tetapi sinersi untuk memberikan mutual benefit atau win-win solution untuk kesejahteraan bersama.
-       “E-Commerce” atau E-Com adalah pintu kedepan. Komunikasi dan Informasi merupakan kunci sukses. Siapa yang tidak mengikuti perkembangan teknologi akan tertinggal atau ditinggal dilandasan.

11.  Akhirnya, pilihan itu tidak bisa ditunda, tidak bisa dilakukan secara salah dan harus murah.
“DO IT FAST, DO IT RIGHT, DO IT EFFICIENTLY”



-------------------------------
Paul Soetopo Tjokronegoro, mantan Deputi Gubernur BI, mantan Asisten Direktur Eksekutif International Monetary Fund, Washington DC dan Pemerhati Credit Union.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer